Feeds:
Pos
Komentar

Dari waktu pendaftaran Lomba Karya Tulis Ilmiah “Kenakalan Remaja” yang dimulai 19 Oktober – 13 November 2009, panitia menerima lebih kurang 55 buah judul karya tulis, dengan total peserta sebanyak 120 orang.

Keseluruhan karya tulis yang telah terdaftar dalam kepanitiaan kemudian diseleksi oleh tiga orang dewan juri, yang masing-masing yaitu :

1. Juri I       : Prof. Dr. Ketut Suarni, M.S

2. Juri II    : Drs. Ketut Gading, M.Psi.

3. Juri III  : Drs. I Wayan Kernu, M.Pd.

Seleksi karya tulis yang telah masuk dimulai dari tanggal 8 – 20 November 2009. Dari seleksi karya tulis yang dilakukan oleh ketiga dewan juri, didapatkan hasil sebagai berikut :

[terlampir][klik disini]

Peserta yang lolos dalam 10 besar akan menjadi finalis dalam grand final Lomba Karya Tulis Ilmiah “Kenakalan Remaja”. Finalis dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah “Kenakalan Remaja” ini diwajibkan membuat media presentasi dengan menggunakan MS. Power Point (dengan kreasi bebas), mengenai materi makalah yang para finalis angkat masing-masing.

Registrasi peserta dilakukan dari pkl. 08.00 – 09.00 Wita, dengan susunan acara sebagai berikut :

[terlampir][klik disini]

Finalis yang tidak hadir pada saat kegiatan Grand Final Lomba Karya Tulis Ilmiah “Kenakalan Remaja” akan didiskualifikasi, dan kehilangan seluruh fasilitas yang diberikan Panitia.

Profesionalisme Guru Bimbingan Konseling

Oleh:  Gede Sedanayasa

Jurusan Bimbingan Konseling

FIP Undiksha

  1. A. Pendahuluan

Menyandang predikat  sebagai pekerja professional tidak mudah. Segala yang melekat pada orang dan pekerjaannya menjadi tanggung jawab  penyandang pekerjaan tersebut. Demikian halnya sebagai guru pembimbing professional maka segala yang melekat pada guru pembimbing menjadi tanggungjawab professional di pundak guru pembimbing. Ucapan dan  tindakannya menunjukkan komitmen dalam mengembangkan pekerjaanya. Layanannya  benar-benar dilakukan secara khusus dan akhli sesuai dengan bidangnya. Selanjutnya, pekerjaannya dilakukan atas dasar pengabdian terutama kepada pengguna jasa yang dalam hal ini adalah  para siswa. Dalam bekerja guru pembimbing dituntut pula menjalin kerjasama dengan sejawat dan pihak-pihak terkait lain yang ada hubungannya dengan pekerjaannya. Kode etik telah mengatur setiap ucapan dan  perilaku serta kinerja. Ketidak sesuaian antara ketiga itu, sanksi proifesi akan menjemput.  Agar tuntutan professional ini tercapai maka kepada guru pembimbing senantiasa dituntut   untuk selalu peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,  peduli dengan perkembangan siswa yang menjadi subyek utama layanan, sehingga layanannya menjadi tidak monoton. Di sisi lain, guru pembimbing harus berani untuk tidak berhasil, terus berusaha menyempurnakan layanan, terus melakukan evaluasi diri. Dengan demikian   pada akhirnya akan menunjukkan bahwa orang-orang yang tekunlah yang  dapat menjadi  professional. 

  1. B. Beberapa Istilah

Ada beberapa istilah yang patut dipahami sebelum sampai pada pembahasan tentang profesionalisme guru pembimbing.  Pertama, istilah profesi yang dimaksud adalah, bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan  keahlian ( keterampilan, kejuruan ) tertentu (  Kamus Besar Bahasa Indonesia 1988:702). Selanjutnya, istilah profesional pemikiran kita tidak akan lepas pada pekerjaan dan  komitmen orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Menurut Danim, (dalam Sudarwan 2002:22) makna professional merujuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi. Orang yang professional biasanya melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya dan mengabdikan diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya itu. Kedua, kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya. Jadi orang professional akan sangat berbeda dengan pekerja delitan atau pekerja amatiran. Pekerja delitan artinya, memiliki suatu keterampilan tertentu berdasarkan pengalaman atau mencontoh kepada orang lain. Sedankan pekerja amatiran adalah orang-orang yang memiliki okupasi tertentu yang sangat terampil namun tidak memiliki latar belakang ilmiah atau pembinaan yang khusus. Para amatir dapat lahir karena turun-menurun, karena kondisi lingkungan, dan atau  disebabkan karena hobi.   Mereka tidak memilki dasar-dasar ilmiah dalam mmelakukan pekerjaannya ( Tilaar, 2000:137) Selanjutnya profesionalisme berasal dari bahasa Ingris yaitu professionalism yang secara leksikal berarti sifat professional. Menurut Anwar Yasin (1997:35) profesionalisme dapat diartikan sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakanna dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Terakhir,  istilah profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau kemampuan para angota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Dengan demikian profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkaan kemampuan praktis. Dua hal ini dalam implementainya,  dapat dilakukan melalui usah-usaha untuk mencapai standar ideal bagi penyandag profesi sebagaimana  harapan  profesinya seperti, penelitian, diskusi antar rekan profesi, membaca karya akademik kekinian, dan sebagainya. Kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, studi banding, pengembangan pembelajaran/layanan,   observasi praktikal, dan lain-lain menjadi bagian integral dari upaya profesionalisasi itu. Jadi,  kemampuan professional adalah sebagai tingkat keahlian (kemahiran) yang dipersyaratkan ( dituntut untuk dapat melakukan suatu pekerjaan (jabatan) yang dilakukan secara efesien dan efektif dengan tingkat kealian yang tinggi dalam mencapai tujuan pekerjaan ( jabatan) tersebut. Untuk sampai kearah itu,  diperlukan  pendidikan spesialisasi tertentu yang diperoleh melalui suatu proses  ( pada jenjang pendidikan tinggi). Seseorang hanya dapat diberikan kewenangan untuk melakukan pekerjaan itu apabila ia berhasil mencapai standar kemampuan minimum keahlian atau kemahiran yang diperyaratkan. Sebaliknya mereka yang tidak mencapai standar itu, tidak akan diberikan kewenangan yang dimaksud.

C. Ciri-Ciri Jabatan Profesional

Menurut  Anwar Jasin ( dalam Dawam Raharjo, 1997:35), ada empat ciri jabatan atau pekerjaan yang disebut professional.

Pertama, tingkat pendidikan spesialisnya menuntut seseorang melaksanakan jabatan ( pekerjaan)-nya dengan penuh tanggung jawab, kemandirian mengambil keputusan, mahir dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya. Biasnya pendidikan professional itu setingkat spesilaisasi pendidikan tinggi.

Kedua, motif dan tujuan seseorang memilih jabatan ( pekerjaan) itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan ( bayaran) yang menjadi tujuan utama.

Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima menjadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok professional yang bersangkuan. Jadi dalam mengerjakan pekerjaannya, kode etik itulah yang menjadi standar moral perilaku anggotanya. Pelanggaran terhadap kode etik dapat menyebabkan seseorang mendapat teguran dari pimpinan organisasi profesinya , bahkan mungkin dipecat ( dikeluarkan) dari organisasi professional tersebut.

Kempat, terdapat semangat kesetiakawanan seprofesi ( kelompok) misalnya dalam bentuk tolong-menolong antara anggota-anggotanya, baik dalam suka maupun dalam duka.

Selanjutnya Mulyani A. Nurhadi (2005:6) mengatakan bahwa  suatu jabatan dapat termasuk kategori profesi apabila memenuhi stidak-tidaknya lima syarat yaitu:

  1. Didasarkan atas sosok ilmu pengetahuan teoretik ( body of teoritical knowledge)
  2. Komitmen untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam praktek secara otonom dan berkekuatan monopoli
  3. Adanya kode etik profesi sebagai instrument untuk memonitor tingkat ketaatan anggotaya dan system sanksi yang perlu diterapkan
  4. Adanya organisasi profesi yang mengembangkan, menjaga, dan melindungi profesi;
  5. Sistem sertifikasi bagi individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk dapat menjalankan profesi tersebut.

Melengkapi pengetahuan kita tentang ciri-ciri sebuah profesi, Tilaar (2000:137) menyebutkan beberapa ciri para pekrja profesional adalah, (1) Memiliki suatu keahlian khusus, (2) Merupakan suatu panggilan hidup, (3) Memiliki teori-teori yang baku secara universal, (4) Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri, (5) Dilengkapi dengan kecakapan diagnostic dan kompetensi yang aplikatif, (6) Memiliki otonomi dalam melaksanaakan pekerjaaanya, (7) Mempunyai Kode etik, (8) Memiliki klien yang jelas, (9) mempunyai organisasi profesi yang kuat, dan (10) Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain.

Apakah indikator seorang guru pembimbing professional ? Sebagai orang yang menyandang suatu profesi maka (1) guru pembimbing hendaknya  melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya (2) guru pembimbing mengedepankan pengabdian pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya. (3) tampilan diri atau performance yang profesional.

Melakukan Pekerjaan Sesuai Keahlian

Keahlian guru pembimbing dalam melaksanakan tugasnya  (cirri pertama) tercermin dalam kemampuannya menguasai dan melakukan layanan konseling yang digambarkan dalam table dibawah ini.

STANDAR KOMPETENSI KONSELOR

KOMPETENSI SUB KOMPETENSI
A MEMAHAMI SECARA MENDALAM  KONSELI YANG HENDAK DILAYANI

1        Menghargai dan menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum 1.1  Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi

1.2  Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya

1.3  Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya

1.4  Menunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya

1.5  Toleran terhadap permasalahan konseli

1.6  Bersikap demokratis

2        Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologi serta perilaku konseli 2.1  Mengaplikasikan kaidah – kaidah perilaku manusia, perkembangan fisik dan psikologis individu terhadap sasaran layanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

2.2  Mengaplikasikan kaidah – kaidah kepribadian, individualitas dan perbedaan konseli terhadap sasaran layanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

2.3  Mengaplikasikan kaidah – kaidah belajar terhadap sasaran layanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

2.4  Mengaplikasikan kaidah – kaidah keberbakatan terhadap sasaran layanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

2.5  Mengaplikasikan kaidah – kaidah kesehatan mental terhadap sasaran layan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

B MENGUASAI LANDASAN TEORITIK BIMBINGAN DAN KONSELING
  1. Menguasai teori dan praksis pendidikan
1.1  Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya

1.2  Mengimplementasikan prinsip – prinsip pendidikan dan proses pembelajaran

1.3  Menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan

  1. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan
2.1  Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal

2.2  Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejujuran, keagamaan, dan khusus

2.3  Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah

  1. Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling
3.1  Memahami berbagai jenis dan metode penelitian

3.2  Mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling

3.3  Melaksanakan penelitian bimbingan dan konseling

3.4  Memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling

  1. Menguasai kerangka teoritik dan praksis bimbingan dan konseling
4.1  Mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling

4.2  Mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling

4.3  Mengaplikasikan dasar – dasar pelayanan bimbingan dan konseling

4.4  Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja

4.5  Mengaplikasikan pendekatan / model / jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling

4.6  Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling

C MENGEMBANGKAN PRIBADI DAN PROFESIONALITAS SECARA BERKELANJUTAN
  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
1.1  Bersikap demokratis

1.2  Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

1.3  Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain

1.4  Berakhlak mulia dan berbudi pekerti

  1. Menunjukkan integritas dan stablitas kepribadian yang kuat
2.1  Menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten)

2.2  Menampilkan emosi yang stabil

2.3  Peka, bersifat empati, serta menghormati keragaman dan perubahan

2.4  Menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi stress dan frustrasi

2.5  Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif.

2.6  Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri

2.7  Berpenampilan menarik dan menyenangkan

  1. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesionl
3.1  Memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional

3.2  Menyelenggarakan layanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor

3.3  Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli

3.4  Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan

3.5  Peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi

3.6  Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor

  1. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat kerja
4.1  Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak – pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah) di tempat bekerja

4.2  Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak – pihak lain di tempat bekerja

4.3  Bekerja sama dengan pihak – pihak terkait di dalam tempat bekerja (seperti guru, orang tua, tenaga administrasi)

  1. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling
5.1  Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi

5.2  Menaati Kode Etik profesi bimbingan dan konseling

5.3  Aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi

  1. Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi
6.1  Mengkomunikasikan aspek – aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain

6.2  Memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling

6.3  Bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain

6.4  Melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai dengan keperluan

D MENYELENGGARAKAN BIMBINGAN DAN KONSELING YANG MEMANDIRIKAN
  1. Merancang program Bimbingan dan Konseling
1.1 Menganalisis kebutuhan konseli

1.2. Menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik 1.3. secara komprehensif dengan pendekatan  perkembangan

1.4. Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling

1.4. Merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling

  1. Mengimplementasikan program Bimbingan dan Konseling yang komprehensif
2.1.Melaksanakan program bimbingan dan konseling

2.2. Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling

2.3. Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli

2.4. Mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling

  1. Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling
3.1. Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling

3.2. Melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling

3.3. Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait

3.3. Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling

  1. Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli
4.1. Menguasai hakikat asesmen

4.2. Memilih teknik asesmen , sesuai dengan kebutuhan layanan bimbingan dan konseling

4.3. Menyusun dan mengembangkan instrumen asesmen untuk keperluan bimbingan dan konseling

4.4. Mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalah – masalah konseli.

4.5. Memilih dan mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi konseli

4.6. Memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual konseli berkaitan dengan lingkungan

4.7. Mengakses data dokumentasi tentang konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling

4.5. Menggunakan hasil asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan tepat

4.6. Menampilkan tanggung jawab profesional dalam praktik asesmen

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi  Departemen Pendidikan Nasional 2007).

Pengabdian Diri pada Pengguna Jasa

Ciri penting yang kedua adalah, mengabdikan diri pada pengguna jasa dalam hal ini kepada para siswa dan atau klien. Kebanggaan akan muncul bagi guru pembimbing apabila  para siswa yang menjadi bimbingannya berkembang sesuai dengan potensinya dan mampu menunjukkan kemandirian. Perhatikan pernyataan ahli-ahli pendidikan berikut ini yang mencurahkan perhatiannya pada pendidikan. “ Profesi guru akarnya ialah pengabdian diri. Guru jangan dihayati sebagai lapangan kerja biasa untuk mencari nafkah saja, tetapi merupakan pengabdian. Menjadi guru harus berdasarkan nurani terpanggil. Jadi tidak semua orang wajar menjadi guru atau berwewenang menjadi guru kalau dia tidak merasa terpanggil” ( Soepardjo Hadikusumo). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abdul Karim A. Achmad (2005:5). Ia menyatakan bahwa  “motif menjadi tenaga pendidik bukan imbalan gaji ( kebendaan) tetapi adalah panggilan (calling) untuk mengabdi kepada Tuhan, masyarakat dan kemanusiaan.

Kinerja atau Performance

Jenis layanan guru pembimbing  berkisar pada tiga kegiatan pokok yaitu,  (1) membantu siswa   mengembangkan keragaman potensi yang dimiliki, (2) melayani dalam memecahkan berbagai permasalahan yang menghambat perkembangannya, (3)  layanan dengan  memberikan berbagai informasi terkait dengan isu-isu yang berkembang yang mungkin dapat menghambat perkembangan siswa. Layanan ini menjadi penting dilakukan untuk membantu individu yang sedang dalam proses berkembang atau proses menjadi ( an becoming). Para siswa belum memiliki pemahaman atau wawasan tentang diri dan lingkungannya. Mereka  juga belum memiliki pengalaman  dalam menentukan arah hidup.  Disamping itu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus atau bebas dari masalah. Dengan kata lain perkembangan itu tidak selalu berjalan linier, mulus atau bebas dari masalah searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut (Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas (2007: 10).

Secara lahiriah sebagai seorang pelayan memerlukan tampilan yang baik,  ucapan yang lembut, dan berpikir positif artinya, tidak berpasangka kepada individu yang dilayani.  Kualitas lahiriah seorang guru pembimbing yang baik menurut Rollo May (2003:165) sudah jelas dengan sendirinya yaitu menawan hati, memiliki kemampuan,  bersikap tenang ketika bersama orang lain, memiliki kapasitas untuk berempati, ditambah karakteristik – karakteristik lain yang memiliki makna yang sama.  Menurutnya,   kualitas tersebut tidak sepenuhnya merupakan kualitas bawaan tetapi,  dapat  dicapai dan diusahakan antara lain melalui pencerahan, minat dan ketertarikannya kepada orang lain. Jika konselor menikmati kebersamaannya dengan orang lain dengan tulus dan menikmati niat baik terhadap mereka, maka secara otomatis pula konselor akan menjadi orang yang menarik bagi orang lain. Menerima apa adanya  ( acceptance) dalam konseling, bebas  prasangka dan seantiasa berpikir positif, akan dapat menumbuhkan perasaan dan sikap nikmat bersama orang lain.

Seringkali kita temui orang-orang tidak senang dengan orang lain  atau orang lain yang tidak menyenanginya.  Orang yang demikian sebetulnya secara tidak sadar bahwa ia  ingin disukai baik karena tuntutan-tuntutan yang muncul karena perasaan-perasaan ingin menyukai orang lain  atau mungkin karena keinginan untuk menyendiri. Konselor yang baik memang diperlukan beberapa pelatihan namun, tidak semua  pelatihan yang diperoleh  cocok bagi seseorang untuk dapat melakukan layanan secara efektif dan bahkan bisa jadi tidak cocok.

Gambaran para pekerja professional termasuk konselor dilukiskan Rollo May (2003) sebagai berikut. Pertama, mereka bekerja dengan keras dan berhati-hati, kelihatannya tidak pernah bersikap santai sesering orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda. Para pekerja ini tidak memiliki minat lain diluar pekerjaannya. Mereka cenderung untuk melibatkan diri sepenuhnya ke dalam pekerjaannya, dan sangat bangga pada kenyataan tersebut. Mereka bekerja dalam ketegangan, dan  bahkan ketegangan ini cenderung dilalui dalam keseharian 24 jam, karena pekerjaan mereka tidak dibatasi oleh jam kerja. Kadangkala ketegangan ini demikian besar sehingga sulit bagi mereka untuk berlibur atau cuti guna istirahat tanpa merasa bersalah. Konselor tipical ini mempertanggngjawabkan pekerjaannya dengan baik. Mereka sangat berhati-hati tentang masalah –masalah yang dihadapi secara detail.  Memiliki keinginan untuk tidak gagal, meskipun hal ini wajar jika berkaitan dengan masalah-masalah yang penting. Jadi fakta yang diobservasi menunjukkan bahwa mereka bekerja dengan mengikuti hukum apa yang disebut oleh Otto Rank dengan hukum  “semua atau tidak sama sekali ( all or none). Mereka mencurahkan diri kepada apapun yang mereka lakukan dan kurang memiliki perhatian untuk merespon secara parsial.  Hal ini dilakukan karena kurangnya minat dan  teman di luar pekerjaannya, mereka seakan-akan tenggelam  dalam kenikmatan dengan tujuan-tujuan absolutnya. Mereka memiliki ambisi yang besar dan yakin  akan nilai penting akan pekerjaan mereka dan bahwa pekerjaan mereka dibutuhkan. Aktivitas yang dilakukan kesana dan kemari seolah-olah dunia tergantung padanya. Bagi orang-orang normal keyakinan akan nilai penting pekerjaan seseorang merupakan sesuatu yang menyehatkan dan diharapkan ada pada diri seseorang. Tetapi ketika keyakinan itu diekspresikan dalam kegiatan nyata yang terus menerus dalam diri seseorang, kita dapat menyimpulkan bahwa pola ego terlibat  jauh dalam pekerjaaan. Pekerjaan merupakan sesuatu yang dimilikinya dan ketika ia memiliki perasaan diri penting  yang berlebihan maka otomatis pekerjaan pun menjadi sesuatu yang paling penting didunia.  Inilah sebabnya mengapa orang mengomentari individu semacam ini dengan “ orang itu terlalu serius”.  Anggapan terhadap pekerjaan yang berlebihan ini mengekspresikan eveluasi berlebihan yang serupa dilakukan pula terhadap diri seseorang. Ambisi pada tingkat tertentu memang menyehatkan sebuah bentuk yang egosentrik yang merupakan ekspresi spontan kemampuan kreatif individu. Tetapi ketika individu bekerja dalam ketegangan yang tidak pernah mengendor, kita dapat menduga  bahwa motif individu tersebut ialah pencapaian ego, bukannya keinginan yang tidak mementingkan diri sendiri dalam rangka memberikan sumbangan pada kemanusiaan. Ambisi yang berlebihan disebut dengan kompleks messiah ( messiah complex) yaitu sebuah keyakinan seseorang akan nilai penting diri dan konsekuensi yang ditimbulkannya ialah perasaan bahwa pekerjaannya sangat dibutuhkan oleh kemanusiaan.  Keyakinan ini memberikan orang yang bersangkutan topeng harga diri dan menempatkannya sebagai seorang pembaharu, sebuah penilaian moral atas rasa persaudaraan yang dimilikinya.

Ciri berikutnya bahwa seorang konselor professional/ tipikal adalah apa yang disebut Adler sebagai  keberanian untuk tidak sempurna. Artinya berani gagal. Keberanian untuk tidak sempurna berarti pemindahan usaha seseorang ke dalam medan yang lebih besar yang memperjuangkan dan melakukan hal-hal yang lebih penting maknanya, sehingga kegagalan atau keberhasilan menjadi relatif insidental. Berikutnya adalah, konselor perlu belajar untuk menikmati poses kehidupan maupun tujuan. Kemampuan menikmati proses akan membebaskan kita dari keperluan memiliki motif tersembunyi demi suatu tujuan yang berada di luar gambaran yang ada. Konselor juga perlu yakin bahwa ia tertarik dengan orang lain  bukanlah  selubung  dari pentas kegagalannya menghargai orang lain dan dirinya sendiri tetapi asli tercurah dari dirinya sendiri. Tidak sebagaimana yang disebutkan Adler yang  menyebutnya sebagai usaha kompensasi bagi seseorang yang mengalami imperioritas. Dia mengatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi imperioritasnya yang inheren serta untuk mencapai superioritas. Tujuan hidup adalah kesempurnaan, bukan kesenangan. Adler mengatakan, setiap orang memiliki perasaan rendah diri. Anak ( karena ukuran dan ketidakberdayaannya) mereasa rendah diri. Individu berusaha mengatasi ketidakberdayaannya itu dengan berkonpensasi –yakni mengembangkan gaya hidup yang memungkinkan tercapainya keberhasilan.

  1. Menuju Profesionalisme Guru Pembimbing

Jika ingin menjadi profesional dasarnya adalah komitmen. Adakah guru telah memiliki  komitmen untuk mengembangkan pekerjaan yang telah dipilih dan telah ditekuti dalam kurun waktu yang lama. Konselor  profesional /typical tidak sepenuhnya bawaan. Ini artinya pencerahan, pelatihan, dan komitmen untuk berkembang  masih memungkinkan menjadi profesional. Seorang profesional adalah orang yang terus-menerus berkembang  atau trainable. Trainability seorang profesional tentu lebih mudah apabila mereka memiliki dasar-dasar pengetahuan yang kuat. Dengan usaha-usaha menuju profesionalisasi,  akan menjadi jelas perbedaanya antara orang yang bekerja profesional dengan yang tidak profesional. Mengembangkan diri menjadi konselor profesional/typical perlu  memiliki komitmen dan  tanggungjawab. Wujud dari kedua hal ini dapat dilakukan melalui partisipasi dan refleksi atas kegiatan-kegiatan profesional. Raka Joni (1992:2) mengatakan tentang pengembangan profesi guru adalah sebagai berikut. ”sebagai pekerja profrsional memang seharusnyalah seorang guru sesekali melakukan penelitian tindakan … sebagai salah satu bentuk penelitian terapan yang secara praktis mendukung pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Pandangan ini didukung oleh  St. Kartono (2002: 101) seorang guru yang juga  praktisi pendidikan di Jogyakarta mengatakan bahwa, ”guru yang  menunjukkan tanggungjawab profesional mesti secara aktif terlibat kegiatan  pengembangan profesi dan menujukkan sebuah komitmen untuk belajar terus menerus, mengusahakan untuk melibatkan diri kedalam proses, refleksi secara kritis terhadap praktek-praktek kualitas pembelajaran dan pengajaran”.

Dalam pedoman penyusunan Potopolio Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (2008) telah disebutkan beberapa poin yang perlu dilakukan gurtu pembimbing dalam rangka pengembangan profesi. Poin-poin yang terkait dengan itu antara lain,  kemampuan merencanakan program pelayanan bimbingan dan konseling, kemampuan melaksanakan program pelayanan bimbingan konseling, lomba dan karya akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah dan sebagai pengurus organisasi di bidang kependidikan dan sosial.

Dengan secara aktif dan berkesinambungan melakukan kegiatan-kegiatan yang dimaksud, akan   menjadikan guru terhindar dari sebutan pendidik ”PENTIP” yaitu, pendidik tanpa ilmu pendidikan. PENTIP artinya, pendidik yang ditemukan sedapatnya, dengan pengetahuan sekadarnya, kemudian dipekerjakan sebisanya, yang mengajar sekenanya, dengan pengetahuan seadanya.  (Winarno Surachmad, 2005:3)

D. Simpulan

Semua yang dibicarakan di depan mengimplikasikan bahwa perlunya  konselor secara terus menerus  melakukan pengembangan diri  yang tulus, dengan tekun menyempurnakan diri sebagai manusia yang “menjadi”,  dengan teguh menghadapi berbagai tantangan, repleksi  masa lampau ( evaluasi diri), dan  menghilangkan bagian-bagian diri yang tidak sepatutnya, serta berpikir prediktif terhadap perkembangan masa depan.   Jika konselor dan atau calon konselor mampu melakukan ini akan terbukti bahwa usaha yang penuh dedikasi ini dapat memutuskan tali keraguan yang ada dalam bias ego yang dapat muncul dalam bimbingan dan konseling.  Usaha yang penuh dedikasi ini pada akhirnya akan menunjukkan bahwa orang-orang yang tekunlah yang  dapat menjadi  professional.

DAFTAR BACAAN

Abdul Karim H. Ahmad; Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan Dalam Mengembangkan SDM yang Berwawasan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang, Makalah

Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2007; Standar Kompetensi Konselor, Jakarta .

Depdiknas Dirjen Dikdasmen, 2003; Mencegah Penyalahgunaan NAPZA melalui Kepercayaan, Kasih Sayang, Ketulusan, Jakarta.

Dirjen Dikti (2008); Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, Pedoman Penyusunan Portopolio, Jakarta.

Gilian Butler & Tony Hope  ; 1995; Manage Your Mind, terjemahan Tri Budi Satrio, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Kartono, St, 2002; Menebus Pendidikan yang Tergadai, Catatan Reflektif Seorang Guru, Yogyakarta, Kanisius

Nurhadi, Mulyani A. (2005) Sertifikasi Kompetensi Pendidik, Makalah, FIP UNP Padang

Rollo May; 2003;  The Art of Counseling; terjemahan Darmin Achmad dan Afifah Inayani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Raka JoniT. (1992); Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru, Jakarta, Konsorsium Ilmu Pendidikan Dirjen Dikti, Depdikbud

Soepardjo Hadikusumo (1989); Pendidikan Sebagai Terapi Budaya; Bandung; IKIP

Surachmad, Winarno; (2005) Mendidik Memang Tidak memerlukan Ilmu Pendidikan, Makalah Padang, UNP,

Tilaar. H.A.R. 2004; Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakatta, Rineka Cipta